Beranda | Artikel
Kedudukan Ihsan
Rabu, 27 Desember 2023

Bersama Pemateri :
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr

Kedudukan Ihsan adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Hadits-Hadits Perbaikan Hati. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada Senin, 12 Jumadal Akhir 1445 H / 25 Desember 2023 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Kedudukan Ihsan

 أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. 

“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika tidak mampu, maka ketahuilah bahwa Allah melihatmu.”

Tingkatan Ihsan adalah tingkatan yang paling tinggi dalam agama ini. Orang-orang yang mencapai tingkatan ini adalah mereka yang telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan agama, orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan, didekatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mencapai derajat yang sangat tinggi. Inilah inti dari keimanan. Ihsan adalah ruh dan kesempurnaan iman.

Yang dimaksud dengan Ihsan artinya seseorang benar-benar memperbaiki dan menyempurnakan, yaitu melakukan ibadah dengan cara yang paling sempurna dan terbaik, lahir maupun batin, tersembunyi maupun terang-terangan.

Maka orang-orang Muhsin dari hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang menyempurnakan dan memantapkan ibadah mereka. Mereka melaksanakannya secara sempurna dari semua sisi, baik lahir maupun batin, tersembunyi maupun terang-terangan. Hal ini dikarenakan baiknya hati-hati mereka dan besarnya perasaan mereka yang merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika beribadah dan melakukan suatu amalan. Mereka beribadah seakan-akan mereka melihat Allah. Orang yang mencapai derajat tertinggi dalam murqabah, yaitu orang-orang yang hati-hati mereka selalu hadir dan jauh dari kelalaian.

Telah disebutkan kata Ihsan dalam Al-Qur’an Karim di banyak ayat. Dalam Al-Qur’an, terkadang kata Ihsan ini dibarengi dengan kata Iman. Terkadang dengan kata takwa. Terkadang disebutkan secara bersamaan iman, takwa, dan Ihsan. Terkadang dikaitkan dengan jihad. Terkadang dibarengkan dengan berinfak di jalan Allah. Terkadang dibarengkan dengan Islam, terkadang dibarengkan dengan amal shalih.

Secara umum, di antara ayat-ayat tersebut, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Tidak ada dosa bagi orang-orang beriman dan beramal shalih dari apa yang mereka makan dahulu (yang dahulu dibolehkan, tapi kemudian diharamkan, seperti khamr), jika mereka bertakwa, beriman, beramal shalih, kemudian mereka terus bertakwa dan beriman, kemudian bertakwa, dan berbuat Ihsan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang-orang yang berbuat Ihsan.” (QS. Al-Ma’idah[5]: 93)

Juga firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

“Sungguh, Allah bersama dengan orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat Ihsan.” (QS. An-Nahl[16]: 128)

Juga firman Allah:

 إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, tentulah kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Kahfi[18]: 30)

Juga firman Allah:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menempuh jalan Kami, sungguh Kami akan memberi petunjuk kepada jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut[29]: 69)

Berkata Syekh Hafidz Hakami Rahimahullah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan dan mentafsirkan kalimat Ihsan dengan tafsir dan penjelasan yang tidak mampu dilakukan oleh siapapun selain beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Allah telah memberikannya Jawamiul Kalim, yaitu kemampuan untuk menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang ringkas tapi mengandung makna yang luas. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu mencapai derajat tersebut, ketahuilah, sungguhnya Ia melihatmu.”

Tingkatan Ihsan

Nabi mengabarkan bahwa tingkatan Ihsan ini ada dua tingkatan, dan orang-orang Muhsinin juga berada di dua tingkatan atau maqam. Kedudukan yang paling tinggi yaitu: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya.” Ini disebut dengan tingkatan musyahadah, yaitu seorang hamba beramal yang seakan-akan dia melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hatinya. Hatinya dipenuhi dengan cahaya iman dan akalnya dipenuhi dengan pengetahuan, maka seakan-akan yang ghaib itu menjadi terlihat. Maka barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan menghadirkan kedekatan, dia merasa benar-benar berada di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berada di tempat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya, dan ia melihatNya. Tentu hal ini akan menjadikan ia semakin takut dan semakin mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tingkatan yang kedua adalah tingkatan ikhlas. Yaitu seorang hamba beribadah dan beramal dengan menghadirkan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Menghadirkan bahwasanya dirinya dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, apabila seorang hamba menghadirkan hal ini dalam amalannya, dan amal tersebut dilakukan dengan hal tersebut, maka ia akan ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena perasaan ia dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghalangi dia dari berpaling kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini adalah kedudukan yang akan menjadikan dia sampai kepada tingkatan yang lebih tinggi, maqam musyahadah tadi.

Makanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan ketika menyebutkan definisi Ihsan: “Jika engkau tidak bisa sampai kepada derajat merasa melihat Allah, maka yakinlah bahwasanya Allah melihatmu.” Dalam sebagian lafadz hadits ini:

 فإنك إن لا تكن تراه فإنه يراك

“Sesungguhnya jika engkau tidak sampai kepada tingkatan merasa melihat Allah, maka yakinlah bahwasanya Allah melihatmu.”

Dan apabila seorang hamba telah merealisasikan dalam ibadahnya, dia merasa selalu diperhatikan, dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kondisi dia sendiri atau di depan manusia, batin dan lahirnya. Dan ia menghadirkan dalam hatinya bahwasanya tidak ada yang tersembunyi bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia akan mudah untuk sampai kepada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu merasa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasa selalu dibersamai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang kali menyebutkan tingkatan ini di ayat-ayat Al-Qur’an. Di antaranya firman Allah Tabarak wa Ta’ala:

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan tidaklah kamu berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu amalan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus[10]: 61)

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Ketahuilah sesusungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa takut dan tidak ada kesedihan bagi mereka.” (QS. Yunus[10]: 61)

Wali-wali Allah, yang bertakwa dan mencapai derajat Ihsan, yaitu mereka yang beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, rububiyah Allah Azza wa Jalla, asma dan shifatNya. Mereka mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ibadah, dalam perkara cinta, ketundukan, rasa takut, rasa harap, rasa khasyah, khusyuk, dan pengagungan, serta tawakal hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menampakkan kebutuhan kepada Allah dan sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka bertakwa dengan melaksanakan perintah-perintahNya, mencintai apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan semua yang menyebabkan kemurkaan Allah mereka tinggalkan, baik ketika mereka tidak dilihat atau di tengah manusia, secara lahir maupun batin, baik secara ucapan, perbuatan, keyakinan, dan hati mereka benar-benar merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka yakin bahwasanya Allah mampu untuk melakukan segala sesuatu, sehingga mereka selalu merasa diawasi oleh Allah pada ucapan, niat-niat, rahasia-rahasia, gerak-gerik, dan semua kondisi yang ia berada di kondisi tersebut.

Bagaimana mereka beramal, di mana beramal, kapan beramal, mereka merasa terus dilihat dan diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka amal mereka selalu ikhlas, sesuai dengan syariat yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh para rasul, dan dijelaskan dalam kitab-kitab yang dibawa oleh para nabi. Mereka selalu mengikhlaskan amal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka selalu merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena kesempurnaan ilmu mereka, bahwasanya Allah melihat mereka, melihat keadaan mereka, mendengar apa yang mereka ucapkan. Sehingga mereka benar-benar tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala apa yang ada pada mereka.

Mereka kembali kepada Allah, meminta perlindungan hanya kepada Allah, dan mencintai Allah dengan sepenuh hati mereka. Sehingga hati-hati mereka dipenuhi dengan cahaya makrifat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga tidak ada lagi tempat untuk selainNya. Dengan Allah, mereka melihat. Dengan Allah, mereka mendengar. Dengan Allah mereka menggunakan tangan mereka. Dan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala mereka berjalan.

Ini sesuai dengan disebut hadids Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata:

مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الَّذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وما تَرَدَّدْتُ عن شَيءٍ أنا فاعِلُهُ تَرَدُّدِي عن نَفْسِ المُؤْمِنِ؛ يَكْرَهُ المَوْتَ، وأنا أكْرَهُ مَساءَتَهُ.

“Barangsiapa memusuhi waliKu, maka aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepadaKu lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan atas mereka. Dan terus hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan (maksudnya adalah Allah memberikan taufik dan bimbingan pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya) dan jika ia meminta kepadaKu sungguh akan Aku berikan. Jika ia meminta perlindungan, sungguh Aku akan memberinya perlindungan. Dan Aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu untuk Aku kerjakan seperti ketika Aku ingin mencabut nyawa hambaKu yang beriman, ia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya.” (HR. Bukhari)

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 yang penuh manfaat ini.

Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Kedudukan Ihsan


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53754-kedudukan-ihsan/